Tergelitik dengan status seorang teman di akun Facebooknya yang mengkritisi reaksi Pemerintah terhadap wabah Covid-19 ini mendorong saya untuk mengulik pandangan-pandangan dari beberapa pakar sebagai referensi pembanding. Menurut teman tersebut, perhatian Pemerintah lebih besar kepada bantuan sosial daripada perhatiannya terhadap penanganan wabah itu sendiri.
Sebetulnya saya juga merasakan kegelisahan sejak lama, bahkan ketika Pemerintah Provinsi NTB menggulirkan wacana pemberian bantuan sosial (bansos) bertajuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang di awal Maret lalu, muncul pertanyaan dalam benak saya; "Tepatkah bansos ini turun sekarang? Mengapa durasi pemberiannya dipaksakan untuk 3 bulan (April, Mei, Juni) sementara intensitas wabahnya belum begitu besar di NTB? Bagaimana jika wabah ini tidak berakhir dalam waktu tiga bulan sementara dana untuk menstimulus ekonomi masyarakat lebih dulu habis?"
Namun belum sempat pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab, bak air bah bansos-bansos lain terjun bebas: BST Kementerian Sosial RI, BLT Dana Desa, dan JPS APBD-2 Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Akibatnya masyarakat sekarang sibuk bahkan di beberapa tempat kisruh tentang distribusi bansos sementara pokok masalah belum sepenuhnya tersentuh.
Dalam sebuah kesempatan, saya bertemu dengan Pendamping Desa Banjar Sari lalu saya ajukan lagi pertanyaan-pertanyaan tadi untuk memperoleh pandangan dan pengamatannya. Pertanyaan pamungkas saya ketika itu adalah, "Mengapa bansos ini diluncurkan sekarang sementara Pemerintah belum menetapkan kita (NTB) untuk PSBB?" Jawaban singkat Pendamping Desa tersebut cukup membuat mulut saya terkunci, "Karena Pemerintah sudah menetapkan wabah corona ini menjadi status bencana nasional, konsekuensinya adalah pada anggaran keuangan negara."
Hari ini pergolakan di benak saya kembali terjadi, lantas mendorong saya mencari-cari jawaban kembali. Salah satu pandangan yang cukup mewakili fikiran saya adalah apa yang disampaikan oleh seorang pengamat ekonomi sekaligus peneliti senior pada Institute of Developing Entrepreneurship dan Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono dalam sebuah wawancara di sebuah media online berikut ini.
Bagaimana pendapat Anda tentang stimulus Pemerintah yang disampaikan Presiden 31 Maret 2020 untuk mengatasi wabah corona?
Menurut saya langkah itu oke saja. Banyak sekali variasi kebijakan yang dilakukan dan terima kasih untuk itu. Tetapi saya menyarankan agar lebih fokus, khusus dikonsentrasikan untuk menghentikan penyebaran corona, tidak perlu terlalu banyak hal yang dilakukan.
Dalam situasi begini harus fokus pada akar masalah, yaitu wabah virus corona itu. Jadi segala daya diarahkan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Kalau virus corona itu bisa dihentikan, maka berbagai persoalan ekonomi akan berhenti dengan sendirinya.
Ada dana tambahan pembiayaan APBN Rp 405,1 triliun tetapi terbagi-bagi untuk berbagai pengeluaran. Rp 75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR), serta Rp 150 triliun untuk biaya program pemulihan ekonomi nasional. Programnya antara lain penambahan PKH, kartu sembako, peningkatan kartu pra kerja, pembebasan biaya listrik, insentif perumahan, insentif pajak, dan lain-lain. Uangnya kan terbatas, apa nggak sebaiknya difokuskan untuk menghentikan penyebaran virus corona lebih dulu?
Pengeluaran untuk yang lain-lain seperti perpajakan, KUR, stimulus ekonomi dan lain-lain kan bisa belakangan waktu pemulihan ekonomi. Sebab ekonomi dan persoalan sosial lain, tidak akan tertolong selama virus corona tidak dapat dihentikan. Para ahli statistik kesehatan memperkirakan angka terinfeksi corona akan mencapai 70.000 orang bahkan mungkin lebih. Kalau itu terjadi apakah jumlah rumah sakit, fasilitas kesehatan, jumlah tenaga medis nanti cukup merespons itu? Banyak yang meragukan. Harusnya fokus dan prioritas tinggi pada sarana dan fasilitas pencegahan corona. Dengan tingkat kematian yang saat ini mencapai 8,9% kan sangat mengkhawatirkan, karena rata-rata tingkat kematian global hanya 4,8%.
Jadi menurut Anda pengeluaran lain-lain tidak perlu?
Bukan tidak perlu, ibarat sebuah kampung yang dilanda kebakaran, bukan kita bekerja membereskan puing-puing akibat kebakaran, tetapi upaya utamanya adalah memadamkan api. Kalau apinya semakin besar dan membesar, maka habislah kampung dilahap api, pekerjaan membereskan puing kehilangan manfaat. Ayo kita padamkan api itu, setelah itu mari kita perbaiki puing-puing rumah yang terbakar. Kita bukan negara seperti China yang memiliki sumber daya melimpah, kita sangat terbatas. Amerika Serikat (AS) yang 3 hari lalu mengeluarkan stimulus US$ 2,2 triliun atau setara Rp 35.200 triliun (kurs Rp 16.000/US$), dampaknya juga hanya beberapa hari saja menahan kejatuhan bursa, setelah itu kembali jatuh.
Jadi sebaiknya energi kita dikonsentrasikan untuk menghentikan penyebaran virus corona. Lihat saja Wuhan, ketika kasus baru infeksi corona sudah tidak ditemukan, ekonominya langsung menggeliat secara otomatis.
Bagaimana dengan kebijakan moneter?
Sudah banyak saya kira yang dilakukan pemerintah. Beberapa kali bunga diturunkan, Giro Wajib Minimum diturunkan, penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR, stimulus kredit di bawah Rp 10 miliar, restrukturisasi kredit tanpa melihat plafon kredit. Ini sudah cukup baik yang pemerintah lakukan.
Inti masalah bukan pada semata-mata faktor permintaan (demand side), bukan karena orang nggak punya uang tidak beli tiket pesawat, bukan karena tidak ada uang orang tidak pergi ke mal, bukan karena terlalu miskin sehingga wisatawan anjlok, tetapi semata-mata karena orang tidak berani keluar rumah karena taruhannya adalah nyawa terserang virus corona. Beda dengan krisis ekonomi tahun 2008, pada waktu itu memang terjadi kekeringan likuiditas akibat skandal mortgage di AS, sehingga sektor keuangan kita sakit. Maka obatnya adalah ekspansi moneter maupun fiskal.
Sekarang ini faktor penawaran (supply side) menjadi faktor yang sangat krusial. Produksi berhenti karena karyawan tidak bekerja akibat ancaman corona. Bayangkan moneter yang terlalu longgar, uang beredar banyak tetapi barang tidak ada karena produksi terhenti, yang terjadi adalah hiperinflasi, yang diuntungkan adalah para penimbun.
Untuk itu sisi produksi harus dijaga, jangan sampai semua buruh dirumahkan nanti barang yang dibutuhkan masyarakat tidak tersedia, itu juga berbahaya. Bayangkan kalau dalam kondisi begini kebutuhan bahan pokok tidak tersedia? Untuk itu proses produksi pabrik-pabrik harus dijaga. Pemerintah bisa membantu keamanan para buruh yang bekerja, dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai. Jadi yang memerlukan APD bukan hanya tenaga medis, tetapi mereka yang tetap bekerja untuk menjaga ekonomi produksi juga dipikirkan, meskipun dengan standar yang lebih rendah sesuai kebutuhan.
Bagaimana dengan pekerja yang mendapat penghasilan harian?
Ini adalah mata rantai penting untuk memutus rantai penyebaran corona. Selama mobilitas mereka masih tinggi akan sulit menghentikan corona. Mereka harus disubsidi agar tetap tinggal di rumah tetapi di supply kebutuhannya. Jangan sampai malah pulang kampung karena tidak bisa hidup di Jakarta. Kalau sampai pulang kampung akan menyebarkan corona lebih parah sampai ke desa-desa.
Episentrum corona ini kan Jakarta dan beberapa kota di Jawa. Episentrum inilah yang harus dijaga, mestinya tidak terlalu besar biayanya. Misalnya dibanding dengan subsidi untuk kartu pra kerja, KUR, PKH dan lain-lain. Padahal ditambah kartu para kerja, KUR, atau PKH kurang berdampak bagi upaya penghentian penyebaran corona. Program ini harusnya dijalankan nanti pada masa pemulihan ekonomi.
Satu lagi yang sangat-sangat penting, jangan sampai kota-kota lain di luar Jakarta, seperti Medan, Aceh, dan di pulau-pulau lain tidak terjaga dan malah mengikuti pola Jakarta. Akan sangat berat masalahnya jika mengikuti pola Jakarta. Untuk itu kalau ada Kepala Daerah yang berkeras menutup daerahnya dan memberlakukan lockdown, mestinya jangan dilarang. Kesalahan utama kita adalah menganggap sepele wabah corona, dengan keyakinan bahwa Indonesia imun dari corona. Kalau kita waspada dari awal seperti Singapura dan Jepang, masalah dan biayanya tidak akan seberat sekarang ini.
Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4961412/menilai-cara-pemerintah-menghadapi-gempuran-corona