Bagaimana hukum shalat berjamah dengan jarak antara jamaah satu meter seperti saat wabah Covid-19? Beberapa masjid masih menyelenggarakan shalat, baris shaf antar jamaah dibuat dengan selisih jarak satu meter. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang hal ini?
A. Dalil yang Membicarakan Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membicarakan lima belas hadits dalam judul bab Keutamaan Shaf Pertama dan Perintah untuk Menyempurnakan Shaf Pertama, Meluruskan, dan Marapatkannya, berikut diantaranya:
Hadits Pertama (HR Muslim)
"Abu Mas'ud RA berkat, Rasululloh SAW biasa mengusap pundak-pundak kami ketika sholat dan berkata, "Luruskanlah dan janganlah berselisih, sehingga perselisihlah pula hati kalian. Hendaklah orang-orang yang dewasa dan berakal (yang punya keutamaan) dekat denganku (dekat dengan imam), lalu diikuti orang-orang setelah mereka, lalu orang-orang setelah mereka".
Hadits Ke Dua (HR. Bukhari dan Muslim)
"Anas RA berkata, Rasululloh SAW bersabda, "Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan sholat". (Muttafaqun 'alaih)
Hadits Ke Tiga (HR. Bukhari dan Muslim)
"Anas RA berkata, "Iqamah shalat telah dikumandangkan lalu Rasululloh SAW menghadap kami kemudian berkata, "Luruskanlah dan rapatkanlah shaf-shaf kalian karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku". Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Salah seorang dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki rekannya.”
B. Hukum Meluruskan dan Merapatkan Shaf
Imam an-Nawawi berkata, "Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian serta perselisihan antar hati orang yang sholat". (Syarh Shahih Muslim)
Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, mayoritas 'ulama berpandangan bahwa dianjurkan meluruskan shalat dalam shalat berjamaah, maksudnya adalah tidak boleh satu jamaah lebih di depan dari jamaah lainnya. Orang yang akan melaksanakan shalat membuat shaf jadi lurus dalam satu baris dengan shaf dirapatkan. Rapatnya shaf adalah dengan mendekatkan pundak yang satu dan lainnya, telapak kaki yang satu dan lainnya, mata kaki yang satu dan lainnya, sampai-sampai dalam shaf tidak dibuat ada celah. Imam disunnahkan memerintahkan pada jamaah sebagaimana perintah Nabi SAW, "Luruskanlah dan rapatkanlah shaf, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat".
Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyebutkan bahwa hukum shaf yang lurus adalah wajib, namun shaf yang tidak lurus dihukumi sah. Shalat yang telah dilakukan dalam keadaan seperti itu tidak perlu diulangi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum meluruskan shaf adalah sunnah menurut jumhur 'ulama. 'Ulama yang menyatakan wajib, seperti Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, tidak menganggapnya sebagai syarat sah shalat;
2. Shaf yang lurus didapati dari shaf yang rapat. Cara meluruskan shaf adalah dengan mendekatkan mata kaki dan pundak. Jika shaf yang lurus dihukumi sunnah, shaf yang rapat berarti dihukumi sunnah pula; dan
3. Maksud sahabat dengan menempelkan pundak dan telapak kaki adalah mendekatkan, bukan saling menyakiti satu dan lainnya.
C. Bagaimana Jika Baris Shaf Saling Berjauhan?
Syaikh Khalid Al-Musyaiqih menyatakan, “Baris shaf itu disunnahkan saling berdekatan jarak antara shaf depan dan belakang, sekadar jarak di mana seseorang bisa sujud dalam shalat. Namun jika dibutuhkan, dikhawatirkan akan penyakit menular, atau sebab lainnya, shaf depan dan belakangnya dibuat lebih lebar. Jika ada yang shalat sendirian di belakang shaf, itu juga dibolehkan ketika mendesak. Ibnu Taimiyyah sendiri menganggap bahwa membentuk satu baris shaf (al-mushaffah) itu wajib. Namun, beliau membolehkan tidak dibuat barisan shaf ketika mendesak. Contoh keadaan mendesak di sini adalah adanya penyakit menular. Akhirnya ada yang melaksanakan shalat sendirian di belakang shaf, shalat seperti itu sah. Jika tidak kondisi mendesak, barisan shaf mesti dibentuk. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW dari hadits ‘Ali bin Syaiban, Nabi SAW bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya".
D. Afdal Mana Meninggalkan Shalat Berjama'ah di Masjid ataukah Tetap Shalat Berjama'ah dan Shafnya Saling Berjauhan?
Ada beberapa poin yang bisa dipahami:
Pertama, hukum shalat berjamaah itu wajib sebagaimana pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
Dari Abu Hurairah RA “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Pada awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Ketika orang itu mau berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Penuhilah panggilan azan tersebut.’” (HR. Muslim)
Ke dua, jika mendapati uzur, shalat berjamaah bisa gugur termasuk saat wabah corona ini melanda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau tidak melakukan shalat berjamaah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Perintahkanlah kepada Abu Bakar untuk memimpin shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada kaedah fikih yang berbunyi المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ “Kesulitan mendatangkan kemudahan", atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al-Umm, إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ “Jika perkara itu sempit, datanglah kelapangan". Dalil dari kaedah tersebut adalah firman Allah, فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) dan لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ “Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang memperberat diri dalam beragama, dialah yang akan kalah.” (HR. Bukhari)
Ke tiga, ada yang menyatakan, “Wabah juga muncul di masa silam namun tidak ada peniadaan shalat berjamaah.”
Jawaban: Kalimat ini perlu ditinjau ulang. Karena wabah virus corona yang saat ini ada berbeda dengan wabah di masa silam. Para pakar menilai bahwa virus ini benar-benar berbahaya. Virus ini bisa menyebar begitu cepat. Bahkan dari orang yang sehat dan kuat pun bisa terkena virus ini, walaupun ia tidak merasakan gejala apa-apa. Fatwa itu akan berbeda sesuai zaman dan tempat masing-masing.
Ke empat, jika ada yang shalat di rumah padahal sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tetap dicatat pahala sempurna di sisi Allah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Sumber: https://rumaysho.com/23728-hukum-shalat-berjamaah-dengan-jarak-antara-jamaah-satu-meter.html?fbclid=IwAR2Tx2zgW9dVf4VIRfMkUyngfFA34meAxYFifsc2l5kzb-G8ixhfTIrdMuU