A. Kedudukan Kaidah
Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung di dalam syariat Islam dan banyak permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini mencakup banyak permasalahan, mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan dengan hukuman bagi para pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan sebutan hudud.
Imam Suyuthi berkata, “Kaidah ini dapat diterapkan di semua bab-bab fikih, dan permasalahan fikih yang dicakup kaidah ini mencapai tiga perempat permasalahan” (Al-Asybah wan Nazhoir, hal.51)
Imam Nawawi berkata, “Kaidah ini merupakan kaidah yang umum (mencakup banyak permasalahan), dan tidak keluar dari kaidah ini kecuali beberapa permasalahan saja” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab juz.1 hal.258)
Kaidah ini juga menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama Islam yang kita cintai ini. Apabila kita menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, karena kita semua sadar bahwa kehidupan kita tidak akan pernah terlepas dari kondisi yang disebut dengan keraguan, yang mana dari keraguan ini dapat muncul was-was yang pada akhirnya mengganggu kegiatan ibadah seseorang, terutama di dalam permasalahan taharah dan salat. Akan tetapi Islam dengan segala kesempurnaannya memberikan jalan keluar kepada umatnya, yaitu dengan adanya kaidah yang agung ini.
Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang yakin dia telah berhadas kemudian dia ragu-ragu apakah telah berwudu atau belum, maka keraguannya ini tidaklah berfungsi sama sekali dan dia tetap wajib untuk berwudu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa ragu itu tidak dianggap menurut ulama sebab yang menjadi ukuran adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini merupakan pokok yang sangat agung/esensial dalam permasalahan fikih.” (At-Tamhid juz.5 hal.27)
B. Makna Kaidah
اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati, diambil dari kalimat bahasa Arab يقن الماء في الحوض “air itu tenang di dalam kolam”. Yakin juga dapat diartikan dengan ilmu yang tidak ada keraguan di dalamnya. Adapun الشكsecara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah keraguan dan kebimbangan terhadap dua hal yang tidak bisa dikuatkan salah satu dari keduanya.
Jadi, makna kaidah diatas adalah:
“Bahwa suatu perkara yang diyakini telah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dalil yang pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan. Demikian pula sebaliknya, suatu perkara yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi telah terjadi kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula.” (Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubro oleh DR. Shalih bin Ghanim As-Sadlan hal.101)
C. Contoh Penerapan Kaidah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah ini mencakup banyak sekali permasalahan syar’i, sangat sulit untuk menyebutkan tiap-tiap permasalahan tersebut. Cukup disebutkan sebagiannya saja sebagai contoh untuk memahami penerapan kaidah ini:
1) Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan tetapi dia tidak tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis maka dia harus mencuci pakaian itu seluruhnya.
2) Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudhu, kemudian dia ragu apakah telah batal wudhunya atau belum, maka dia tidak perlu berwudhu lagi.
3) Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudhunya telah batal, akan tetapi dia ragu apakah dia telah berwudhu lagi atau belum, maka wajib baginya untuk berwudhu lagi.
4) Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat atau empat rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu yang paling sedikit rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga rakaat.
5) Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa kali dia telah berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali, maka dia harus menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu seterusnya.
6) Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah mentalak istrinya atau belum, maka pernikahannya tetap sah.
7) Apabila seorang istri ditinggal suaminya berpergian dalam jangka waktu yang lama, maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan tidak boleh baginya untuk menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa sang suami pergi dalan keadaan hidup, maka tidak boleh menghukuminya telah meninggal kecuali dengan berita yang meyakinkan.
8) Jika ada seseorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan sehat, akan tetapi setelah bertahun-tahun tidak kunjung pulang dan tidak diketahui kabarnya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Yang atas dasar ini tidak boleh diwarisi hartanya sampai datang kabar yang meyakinkan tentang hidup atau matinya.
9) Apabila seseorang yakin bahwa dirinya pernah berhutang, kemudian dia ragu apakah dia telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib baginya untuk membayar hutang tersebut kecuali jika pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah membayar hutangnya.
Sumber: https://muslim.or.id/18747-kaedah-fikih-al-yaqiinu-la-yazuulu-bisy-syakki.html