Badan Adhoc sebagai pelaku utama dalam tahapan Pemilu harus mendapatkan perhatian yang besar. Pemilu 2019 di Indonesia menyisakan banyak masalah yang harus diselesaikan untuk mempersiapkan Pemilu 2024. Masalah seperti kematian Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) serta pelanggaran tahapan Pemilu yang kerap terjadi pada badan Adhoc tersebut harus bisa dieliminisir. Pada Pilkada 2020 terdapat permasalahan lain terkait pemenuhan jumlah pelamar badan Adhoc, pada beberapa daerah diperlukan perpanjangan waktu rekrutmen untuk memenuhinya.
Demikian diutarakan sebuah Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora dalam abstraksinya sehingga mendorong Bobby J Yuri, Aidinil Zetra, dan Roni Ekha Putera melakukan penelitian dengan judul Analisis Kebijakan KPU Dalam Rekrutmen KPPS Untuk Pemilu 2024.
Penulisan artikel menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Pemilihan metode ini menurut Penulis cocok digunakan mengingat topik yang dibahas mengenai dasar pemikiran Pembuat kebijakan sehingga hasilnya nanti dapat mendeskripsikan suatu keadaan empiris yang objektif atas fenomena atau masalah yang sedang dikaji.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu berkaitan dengan kajian teoritis dan beberapa referensi yang tidak lepas dari literatur-literatur ilmiah. Studi kepustakaan yang dimaksud dalam konteks artikel ini adalah upaya Penulis untuk mencari, mengumpulkan, dan mempelajari bahan tertulis berupa buku, artikel jurnal, berita online dan konvensional, dan website lembaga-lembaga otoritatif terkait kebijakan KPU dalam melaksanakan rekrutmen KPPS untuk Pemilu 2024. Data penelitian berupa pernyataan dan sikap para Pemangku kepentingan yang memiliki otoritas dan kapasitas tentang kepemiluan berasal dari sumber-sumber literatur tersebut. Analisis kebijakan publlik yang Penulis lakukan menggunakan pendekatan normatif. Analisis kebijakan dengan pendekatan normatif ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik, pertanyaan harus berkenaan dengan tindakan (apa yang harus dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskirptif, sehingga didapatkan hasil sebagai berikut.
Tantangan Rekrutmen KPPS
Adanya kasus Petugas Adhoc yang meninggal pasca Pemilu 2019 menjadi sorotan berbagai pihak. KPU sebagai institusi induk penyelenggara Pemilu dinilai tidak berhasil dalam memperhatikan kesejahteraan petugasnya di tngkat bawah. Kasus ini menjadi pembahasan hangat oleh berbagai pihak. Untuk mengatasi krisis pasca Pemilu 2019 dalam rangka menyongsong Pilkada 2020 dan Pemilu 2024, KPU mengevaluasi kebijakan terkait beban kerja dan kesejahteraan Petugas KPPS. Dalam perumusan kebijakan KPU meminta masukan dari berbagai pihak dengan cara ikut dalam diskusi-diskusi yang membahas problematika yang muncul dari Pemilu 2019.
James E. Anderson (dalam Widodo, 2021) mendefinisikan kebijakan yang lebih menekankan pada maksud dan tujuan utama sebagai berikut: "A set purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern... Publik policies are those policies developed by governmental bodies an officeals". KPU sebagai institusi Pemerintah membuat kebijakan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan Petugas KPPS. KPU menerima rekomendasi dari Kementerian Kesehatan atas usulan pembatasan usia Petugas KPPS yang tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 Pasal 35 ayat (2) yang berbunyi "persyaratan usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk KPPS mempertimbangkan dalam rentang usia 17 (tujuh belas) sampai dengan 55 (lima puluh lima) tahun, terhitung pada hari pemungutan suara Pemilu atau Pemilihan". Kementerian Kesehatan memiliki kompetensi sebagai rujukan pembuatan kebijakan oleh KPU. Sesuai dengan pernyataan Idham Holik (dalam Febryan, A, 2022) berikut "Jadi umur 55 tahun itu batas maksimal yang direkomendasikan oleh para aktivis kesehtan".
Beban kerja nonstop KPPS sejak menerima logistik Pemilu, membuka TPS, memulai pemungutan suara, hingga melakukan penghitungan suara membutuhkan kondisi kesehatan tubuh yang optimal. Proses perumusan kebijakan atas dasar rekomendasi dari berbagai pihak yang berkompeten akan menciptakan kebijakan yang tepat sasaran. Proses pembuatan kebijakan oleh KPU ini berdasarkan evaluasi atas kebijakan yang telah diambil dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020. Evaluasi kebijakan dilaksanakan untuk menilai sampai dimana efektif atau tidaknya kebijakan publik berjalan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan kebijakan yang sudah ditetapkan (Mahardhani, 2018). Tujuan kebijakan akan dapat dicapai dengan efektif. Seharusnya dalam perumusan kebijakan, setiap pihak dapat memberikan kontribusi utnuk memberikan berbagai pandangan atas solusi yang akan dicari dari permasalahan ditengah-tengah masyarakat. Kebijakan seperti ini dapat mengatasi berbagai potensi masalah yang akan timbul. Para pembuat kebijakan tidak boleh menutup diri seakan-akan paling paham tentang kewenagnan yang ada pada dirinya.
Selanjutnya dalam rangka memastikan kesejahteraan Petugas Adhoc Penyelenggara Pemilu 2024, KPU mengusulkan penetapan kenaikan honor kepada Pemerintah menimbang dengan beban kerja Pemilu 2024. KPU mengusulkan kenaikan honor sebesar 3 (tiga) kali lipat dari honor Petugas Adhoc dalam Pemilihan sebelumnya. Pemerintah menyetujui kenaikan honor Petugas Adhoc meskipun tidak sebesar usulan dari KPU. Dalam proses usulan mengenai besaran nilai honor Petugas Adhoc, KPU berhasil mendapatkan dukungan dari Komisi II DPR RI. Rifqinizamy Karsayuda menyatakan "kenaikan honorarium Petugas Adhoc Pemilu 2024 adalah komitmen DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu. Saya berharap, kenaikan anggaran badan Adhoc memberikan dampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas penyelenggara dalam pelaksanaan Pemilu 2024" (Hayati, 2022).
Dalam proses pembuatan, proses mencari dukungan untuk membuat kebijakan disebut dengan proses advokasi isu. Tujuan dari advokasi kebijakan publik adalah untuk mendapatkan komitmen pembelaan dan pendampingan untuk menjamin pembentukan sebuah isu menjadi kebijakan (Wahyudi, 2008). Isu yang akan menjadi kebijakan mendapatkan perhatian para pembuatan kebijakan. Dalam hal KPU sebagai pembuat isu tentang kenaikan honor Petugas Adhoc, lalu isu ini diperhatikan oleh DPR sebagai legislator sehingga dapat mempengaruhi Pemeritnah untuk meloloskan isu menjadi kebijakan penganggaran honor Petugas Adhoc.
Tabel Kenaikan Honor Petugas Adhoc Pemilu
Tingkatan |
Pemilu 2019 |
Pemilu 2024 |
PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) |
|
|
Ketua |
Rp1.850.000,- |
Rp2.500.000,- |
Anggota |
Rp1.600.000,- |
Rp2.200.000,- |
Sekretaris |
Rp1.300.000,- |
Rp1.850.000,- |
Pelaksana |
Rp850.000,- |
Rp1.300.000,- |
|
|
|
PPS (Panitia Pemungutan Suara) |
|
|
Ketua |
Rp900.000,- |
Rp1.500.000,- |
Anggota |
Rp850.000,- |
Rp1.300.000,- |
Sekretaris |
Rp800.000,- |
Rp1.150.000,- |
Pelaksana |
Rp750.000,- |
Rp1.050.000,- |
|
|
|
KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) |
|
|
Ketua |
Rp550.000,- |
Rp1.200.000,- |
Anggota |
Rp500.000,- |
Rp1.100.000,- |
Satlinmas |
Rp500.000,- |
Rp700.000,- |
Kebijakan ini tertuang dalam surat Ketua KPU Nomor 691/KU.01-SD/01/2022 Perihal Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) Tahapan Pemilihan Umum dan Tahapan Pilkada tanggal 7 September 2022. Dalam kebijakan usulan ini, KPU memahami beban kerja Petugas Adhoc yang semakin berat dalam Pemilu 2024. Diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan subjek yang diatur. Dalam kebijakan yang sama, KPU juga mengatur tentang santunan atas resiko yang dialami oleh Petugas Adhoc selama menyelenggarakan Pemilu 2024.
Tabel Santunan Badan Adhoc
No. |
Kriteria |
Jumlah |
1. |
Meninggal |
Rp36.000.000,- |
2. |
Cacat Permanen |
Rp30.800.000,- |
3. |
Luka Berat |
Rp16.500.000,- |
4. |
Luka Sedang |
Rp8.250.000,- |
5. |
Bantuan Biaya Pemakaman |
Rp10.000.000,- |
Dalam kebijakannya, KPU mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pada krisis pasca Pemilu 2019, belum ada aturan mengenai santunan apabila ada Petugas yang meninggal. Berkaca dari masalah ini, dalam persiapan Pemilu 2024 KPU telah menyiapkan kepastian terkait pertanggungjawaban pemberian santunan kepada Petugas yang mengalami musibah seperti di atas. Memang seharusnya, kebijakan yang diambil oleh para pembuat kebijakan harus dapat mengantisipasi setiap kondisi yang terjadi. Meskipun saat proses perumusan kebijakan tidak mengharapkan sesuatu yang buruk akan terjadi, namun setidaknya terdapat menajemen krisis dalam kebijakan yang diambil. Bagaimanapun kebijakan publik harus memiliki tujuan untuk kepentingan publik.
Rekrutmen Petugas Adhoc Untuk Mewujudkan Pemilu yang Berintegritas
Permasalahan lain yang dihadapi oleh KPU terkait KPPS dan Petugas Adhoc umumnya adalah adanya anggapan masyarakat bahwa rekrutmen Petugas Adhoc tidak dilakukan secara transparan. Saat tulisan ini dibuat, tahapan Pemilu yang telah berjalan adalah tahapan rekrutmen PPK. Masih terdapat perselisihan tentang proses rekrutmen Petugas Adhoc Penyelenggara Pemilu seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Salah satu Peserta melakukan aduan ke DKPP perihal tahapan wawancara yang tidak ada standar bobot penilaian yang jelas (Pramono, 2022). Hal serupa juga terjadi pada perekrutan Pengawas Adhoc oleh Bawaslu. Sebanyak 28 Bawaslu Kota/Kabupaten dilaporkan ke DKPP atas dugaan pelanggaran dalam proses rekrutmen Panwascam (Febryan, 2022). Tentu ada yang salah pada kebijakan yang dibuat oleh KPU atau lembaga lain dalam hal perekrutan Petugas Adhocnya. Yang menjadi sorotan adalah kebijakan KPU yang masih melakukan tahapan tes wawancara pada proses rekrutmen Petugas Adhoc. Dalam aturan yang dibuat KPU, tidak ada aturan jelas mengenai Petugas Adhoc didasari oleh penilaian subjektif, berdasarkan like and dislike Panitia Rekrutmen Petugas Adhoc. Tentu hal ini sangat berbahaya. Penulis merasa ironi apabila pada saat pemilihan Petugas Penyelenggara Pemilu saja telah disusupi oleh perilaku nepotisme, bagaimana Pemilu akan menghasilkan Pemimpin yang baik.
Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan AdHoc (SIAKBA)
Proses rekrutmen Petugas Adhoc untuk Pemilu 2024 menggunakan Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Adhoc (SIAKBA) yang telah diluncurkan secara umum pada 19 Oktober 2022. Idham Holik menyatakan penggunaan teknologi informasi merupakan suatu kebutuhan di era globalisasi hari ini (Triatmojo, 2022). Untuk meminimalisir pelanggaran pada proses rekrutmen Petugas Adhoc, KPU membuat kebijakan penggunaan teknologi informasi yang menjamin transparansi proses rekrutmen. Namun, penggunaan teknologi ini tidak dapat menjadi indikator kualitas hasil rekrutmen. Tiara Anggraeni (2022) dalam penelitiannya menyatakan bahwa manfaat penggunaan teknologi informasi rekrutmen pada penghematan biaya, menghemat waktu, pengurangan limbah kertas, lebih efektif dan efisien, serta mempermudah pengambilan keputusan. Namun, teknologi informasi hanya sekedar menjadi alat rekam otomatis, bukan sistem yang menjamin transparansi proses rekrutmen. Manfaat penggunaan teknologi informasi dapat Penulis lihat dari mudahnya para Calon Petugas Adhoc untuk mendaftar ikutserta dalam Pemilu sebagai penyelenggara. Selain itu, manfaat yang dapat diperoleh adalah untuk mempermudah partisipasi masyarakat dalam Pemilu dapat terekam pada data pendaftaran Calon Petugas Adhoc. Data-data ini diperlukan oleh para Pembuat Kebijakan untuk memantau perkembangan partisipasi masyarakat.
Jelang peluncuran SIAKBA secara umum, jajaran KPU beserta kesekretariatan melaksanakan bimbingan teknis dan uji coba penggunaan SIAKBA yang secara nasional oleh operator SIAKBA KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada tanggal 29 September 2022. Hasyim Asyari, Ketua KPU RI menyampaikan tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah sebagai upaya antisipasi untuk mengatasi potensi masalah teknis penggunaan SIAKBA pada tahapan rekrutmen Petuas Adhoc (Utomo, 2022). Dukungan teknis dan kesiapan dari jajaran KPU sendiri diperlukan untuk memastikan penggunaan SIAKBA oleh Calon Petugas Adhoc berjalan lancar. Sehingga, saat proses pendaftaran Calon Petugas Adhoc, SIAKBA dapat berfungsi dengan optimal.
SIAKBA tidak hanya digunakan pada tahapan pendaftaran Calon Petugas Adhoc saja. SIAKBA juga dapat digunakan pada tahapan tes tertulis untuk menilai pengetahuan para Calon Petuas Adhoc. Bentuk transparansi yang dihasilkan dari pemanfaatan teknologi informasi ini adalah tidak adanya kesempatan untk melakukan kecurangan seperti rekayasa nilai hasil tes tertulis. Hasil tes tertulis akan langsung ditampilkan sesaat setelah pelaksanaan tes selesai. Kemudian hasil tes akan langsung diumumkan pada lokasi ujian berlangsung.
Kesimpulan
KPU sebagai induk lembaga penyelenggara Pemilu yang membawahi Petugas Adhoc telah membuat kebijakan berdasarkan asas manfaat yang jelas. Proses perumusan kebijakan telah melalui berbagai proses. Dari pembuatan isu, melakukan advokasi isu, hingga lobbying kepada para pembuat kebijakan lainnya. Namun sebagai lembaga mandiri, KPU masih dibatasi dengan aturan yang mengharuskan adanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR sehingga membuka celah untuk diintervensi. Namun demikian, hal ini dapat dimanfaatkan KPU untuk meningkatkan perhatian publik atas isu kebijakan yang diambil. KPU mendapatkan legitimasi besar dengan proses RDP dengan DPR.
Kebijakan KPU dalam rekrutmen KPPS sudah dibuat sedemikian mungkin untuk mengakomodir kepentingan KPPS sebagai penyelnggara Pemilu di tingkat bawah. Dalam proses pembentukan kebijakan, KPU meminta saran dan rekomendasi dari berbagai pihak. Berbagai antisipasi telah dituangkan dalam kebijakan yang dihasilkan KPU. Penulis yakin melihat pola perumusan kebijakan yang digunakan, KPU akan menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran untuk mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Peningkatan uang honor Petugas Adhoc, penetapan besaran santunan kecelakaan kerja, serta penggunaan Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Adhoc (SIAKBA) merupakan kebijakan yang diambil oleh KPU dalam upaya meningkatkan kualitas rekrutan Petugas Adhoc dan meningkatkan kesejahteraan Petugas Adhoc.