Dalam waktu dekat ini akan ada even budaya yang diselenggarakan masyarakat Desa Banjar Sari tepatnya di wilayah Dusun Kembang Kuning. Even budaya ini diinisiasi oleh tokoh-tokoh adat setempat sebagai upaya untuk menghidupkan kembali tradisi leluhur dalam menjaga hubungan baik dengan alam. Even dimaksud adalah ritual adat Ngayu-Ayu.
Apa sebenarnya ritual adat Ngayu-Ayu itu? Mengingat minimnya sumber-sumber yang dapat dimintai keterangan serta terbatasnya waktu untuk melakukan riset dan pendalaman materi, Admin memperoleh sebuah jurnal ilmiah tentang ritual tersebut. Jurnal yang ditulis oleh Rusman Hadi, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mataram ([email protected]) dalam Jurnal Pendidikan Mandala Volume 4 No. 5 Desember 2019.
Penulis (Rusman Hadi) melakukan penelitian dengan mengambil obyek masyarakat Desa Sembalun Lombok Timur. Meskipun tidak akan sama persis dengan seremonial yang bakal digelar masyarakat Desa Banjar Sari, namun Admin coba menemukan esensi makna)* dari ritual tersebut, diantaranya untuk menjawab persoalan tentang:
1. sejarah tradisi Ngayu-Ayu;
2. tahap pelaksanaan upacara; dan
3. nilai-nilai yang terkandung.
SEJARAH TRADISI NGAYU-AYU
Ritual adat Ngayu-Ayu merupakan sebuah ritual adat yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diberikan kesuburan tanah, kelimpahan hasil bumi, dan terhindar dari bencana. Melalui ritual ini masyarakat diharapkan terhindar dari segala macam penyakit.
Ritual adat Ngayu-Ayu dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun sekali dan dilakukan secara turun temurun sejak lebih dari 600 tahun silam. Ritual Ngayu-Ayu merupakan bentuk rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan kelimpahan hasil bumi, terhindar dari bencana, dan masyarakat diharapkan terhindar dari penyakit-penyakit yang konon di zaman dahulu sering dialami oleh masyarakat setempat.
Proses ritual adat Ngayu-Ayu berlangsung selama dua hari; di hari pertama, pengumpulan air dari tujuh sumber mata air yang mengalir yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sembalun, lalu air tersebut didiamkan selama satu malam di rumah-rumah Ketua Adat dan keesokan harinya (hari ke dua) dikumpulkan menjadi satu di Makam Adat yang terletak di sebelah barat Lapangan Sembalun Bumbung.
PROSES RITUAL NGAYU-AYU
Tahap Persiapan
Dalam tahap ini tokoh adat melakukan musyawarah untuk membahas persiapan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara Ngayu-Ayu. Tujuan musyawarah ini untuk melancarkan proses ritual Ngayu-Ayu.
Tahap Pelaksanaan Upacara
Tahap pelaksanaan upacara Ngayu-Ayu dilakukan dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut:
1. Perang Ketupat
Perang ketupat disimbolkan sebagai perang melawan Iblis. Dalam ritual ini, penduduk tanah Sembalun berperang mati-matian dalam mempertahankan dirinya dengan sekuat tenaga, tetapi lawan perang yang dihadapi ini adalah Tentara Iblis yang kuat dan sukar untuk dihancurkan. Tentara Iblis ini tidak bisa dilawan dengan senjata tajam seperti parang atau pedang, karena setiap kali Iblis ditebas dengan parang atau pedang dan menjadi belah dua maka potongan tubuhnya itu kembali menjadi Iblis-Iblis yang baru dan menyerang semakin ganas.
Dengan demikian semakin lama perang ini bergolak, semakin berkurang jumlah penduduk tanah Sembalun, sebaliknya Tentara Iblis semakin bertambah banyak jumlahnya. Ini berarti bahwa penduduk tanah Sembalun pasti akan mengalami kepunahan.
Dalam keadaan kritis ini penduduk tanah Sembalun dibantu oleh tiga orang pendatang. Ketiga pendatang tersebut degnan mudah mengalahkan Tentara Iblis, mereka berperang dengan bersenjatakan ketupat yakni melemparkan ketupat ke arah Tentara Iblis sebanyak tiga kali lemparan: a) lemparan pertama pada tanggal 5 dengan mengucapkan tanggal lima; b) lemparan ke dua pada tanggal 15 dengan mengucapkan tanggal lima belas; dan c) lemparan ke tiga pada tanggal 25 dengan mengucapkan dua puluh lima.
Ketiga pesan tersebut dilaksanakan dalam upacara peringatan perang ketupat yang diperingati setiap 3 tahun sekali oleh masyarakat Desa Sembalun sampai saat ini sebagai upacaa adat yang terkenal dengan upcara Ngayu-Ayu.
2. Perang Panah Racun
Perang ketupat yang berhasil diatasi oleh masyarakat Desa Sembalun menyebabkan hancurnya Tentara Iblis. Kekalahan tersebut menyebabkan Tentara Iblis melakukan balas dendam maka terjadilah perang berikutnya yaitu perang panah beracun. Perang apnah beracun yang dilakukan oleh Tentara Iblis melancarkan serangannya dari jarak jauh karena secara langsung (perang tanding) mereka tidak berani. Mereka menyerang tanaman penduduk. Penduduk bingung, tidak tau apa yang dikerjakan karena dalam peperangan ini pihak musuh tidak menampakkan dirinya, yang nampak hanyalah serangannya berupa racun atau hama tanaman yang ditiupkan dari jarak jauh. Akibatnya seluruh tanaman pertanian di sawah musnah. Masyarakat kesulitan menghadapi serangan panah beracun atau hama ini, penduduk hampir berputus asa, karena segala cara dan usaha yang dilakukan tidak berhasil. Penduduk mengalami krisis pangan karena sawahnya sama sekali tidak menghasilkan.
Pada suasana yang sulit seperti itu datanglah seseorang yang bernama Raden Patra Guru memberikan petunjuk cara menghadapi serangan panah beracun yaitu dengan menggunakan obat penawar racun yang berupa air yang diperoleh dari mata air Timba Bau. Sesuai petunuk tersebut, akhirnya perang panah beracun dapat diakhiri oleh penduduk tanah Sembalun dan secara berangsur-angsur tanaman di sawah penduduk kembali seperti sedia kala, dan untuk memperingati kemenangan ini diadakan upacara Bija Tawar.
3. Perang Bala
Setelah berhasil mengatasi perang ketupat dan perang panah beracun, penduduk tanah Sembalun diserang wabah penyakit yang diderita oleh seluruh penduduk desa. Hal ini berarti seluruh penduduk tidak bisa melakukan aktivitasnya sehari-hari terutama dalam mengolah sawahnya. Perang ini merupakan perang yang paling berat bagi penduduk karena diantara mereka tidak bisa saling menolong, apabila perang ini berkepanjangan dapat dipastikan bahwa kehidupan dan penghidupan akan kembali hancur.
Seperti halnya pada perang-perang sebelumnya, di saat penduduk sedang kesulitan datanglah pertolongan dari 6 (enam) orang Raden yang memberikan petunjuk bagaimana caranya melawan serangan wabah penyakit tersebut. Caranya adalah dengan senjata ampuh yang disebut senjata tolak bala yaitu berupa kalimat asma' Allah Laailaha illallah. Dengan menggunakan senjata tolak bala tersebut penduduk Desa Sembalun berhasil mengalahkan wabah penyakit dan perang tolak bala berakhir.
Dengan demikian berakhirlah tiga peperangan yang menjadi halangan, rintangan, dan ujian berat untuk mencapai keberhasilan dan ketentraman lahir-bathin. Ketiga peristiwa tersebutlah yang dirangkai dalam upacara Ngayu-Ayu, yang berlangsung selama 4 (empat) hari dengan tata cara pelaksanaan secara garis besarnya sebagai berikut:
Hari Pertama
Pada hari pertama, upacara diawali dengan upacara mebija tawar yaitu upacara memberi obat penangkal pada bibit tanaman, terutama tanaman padi. Obat penawar ini berupa air dan batu yang diperoleh dari mata air Timba Bau/Telaga Harum. Upacara ini dimulai dengan pengambilan air dari sumber mata air Timba bau. Air tersebut kemudian diramu/dicampur dengan jeruk nipis. Setelah diberi mantra-mantra atau do'a-do'a oleh Pemangku Adat air tersebut dibagikan kepada masyarakat.
Selanjutnya air tawar tersebut akan disiramkan/dicipratkan pada bibit padi yang akan ditanam dengan tujuan agar bibit padi tersebut tumbuh subur dan terhindar dari segala hama penyakit.. Selain itu air tawar tersebut juga digunakan pada saat panen.
Hari Ke Dua
Pada hari ke dua, siang harinya masyarakat melakukan persiapan untuk upacara berikutnya yakni pengambilan air dari dua belas sumber mata air pada hari ke tiga dan puncak acara untuk hari ke empat/terakhir.
Sedangkan pada malam harinya diadakan pementasan berbagai macam kesenian baik yang terdapat di Desa Sembalun maupun dari luar desa di wilayah NTB, seperti seni rebana Qasidah, ada juga cupak yaitu suatu jenis seni tarian yang melakonkan cerita cupak (petikan dari cerita Panji) dan banyak lagi kesenian tradisional lainnya yang dipentaskan secara bergiliran setiap malam selama pelaksanaan upacara Ngayu-Ayu.
Hari Ke Tiga
Pada hari ke tiga, sejak pagi hingga siang hari acaranya adalah pengambilan air dari 12 (dua belas) mata air yang dipimpin oleh Pemangku di masing-masing mata air. Air tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kendi/teko/guci. Setelah semua air sudah terkumpul, dengan diiringi tarian tombak dan musik gendang beleq air diberangkatkan dibawa di Berugaq Reban Bande (balai-balai yang digunakan untuk musyawarah). Sebelum air-air tersebtu diletakkan, terlebih dahulu diadakan tarian tombak dimana Penari mengelilingi air sebanyak 9 (sembilan) kali kemudian diberi mantra-mantra, barulah diletakkan sesuai dengan urutan yang ditetapkan dan ini telah berlaku sejak dulu.
Hari Ke Empat
Pada hari ke empat, sejak pagi hari masyarakat sudah bergotong-royong untu mempersiapkan segala sesuau yang diperlukan untuk upcara puncak, seperti untuk persiapan upacara Ngaji Makam dilakukan pemasagnan pagar pembatas makam dan lanjt pembersihan di lingkungan makam.
Pada siang harinya tepat jam 12.00 wita acara dilanjutkan dengan pemotongan kerbau yang dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Kerbau yang sudah disembelih, pada bagian kepalanya ditanam di ujung wilayah desa dengan arah menghadap ke barat daya. Sedangkan bagian badan dagingnya dipotong-potong dan dimasak untuk hidangan pada saat acara makan bersama. Disamping kerbau masyarakat juga memotong ayam betina berwarna hitam mulus dan ayam jantan berwarna putih mulus sebagai srana upacara. Setelah daging kerbau dan ayam matang lalu dibawa ke berugaq Reban Bande untuk diserahkan kepada Pemangku dan Kiayi.
Pada Bab Penutupnya, Penulis memberi kesimpulan bahwa dari hasil analisis yang dilakukan, Ngayu-Ayu merupakan sebuah ritual adat yang bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua nikmat yang telah diberikan kepada manusia. Selain itu ritual Ngayu-Ayu juga merupakan sebuah ritual untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia dan juga untuk menjaga hubungan baik dengan alam semesta sehingga dampak dari itu semua akan tercipta kelestarian alam seperti yang dicita-citakan.
)* seluruhnya merupakan saduran utuh jurnal dengan sedikit penyesuian susunan kalimat