Dasar pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 (UU 12/1985) tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
a. bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peranserta masyarakat sesuai denan kemampuannya;
b. bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak;
c. bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peranserta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; dan
d. bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat, dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum.
Adapun yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
BAB II OBYEK PAJAK
Pasal 2
(1) Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
(2) Klasifikasi obyek pajak sebagaimana diatur dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3
(1) Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah obyek pajak yang:
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
(2) Obyek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut degnan Peraturan Pemerintah.
(3) Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) untuk setiap satuan bangunan.
(4) Batas nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana diamksud dalam ayat (3) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
BAB III SUBYEK PAJAK
Pasal 4
(1) Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(2) Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-Undang ini.
(3) Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak.
(4) Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap obyek pajak dimaksud.
(5) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
(6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
(7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keteragnan yang diajukan itu dianggap disetujui.
BAB IV TARIF PAJAK
Pasal 5
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
BAB V DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 6
(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak)*.
(2) Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.
(3) Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Obyek Pajak.
(4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
)* Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti.
Pasal 7
Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.
BAB VI TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG
Pasal 8
(1) Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat pajak terhutang:
a. untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II;
yang meliputi letak obyek pajak.
BAB VII PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG, DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
Pasal 9
(1) Dalam rangka pendataan, subyek pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak)**.
(2) Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak oleh subyek pajak.
(3) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran obyuek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
)** Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 10
(1) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang)***.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila Surat Pemberitahuan Obyak Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
(3) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah degnan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
(4) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdsarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
)*** Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak.
BAB VIII TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 11
(1) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
(2) Pajak yang terhutang berdsarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
(3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.
(5) Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(6) Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 12
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak merupakan dasar penagihan pajak.
Pasal 13
Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Pasal 14
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
BAB IX KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 15
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas:
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
b. Surat Ketetapan Pajak.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahas Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
(5) Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
Pasal 16
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Pasal 17
(1) Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh wajib pajak dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.
BAB X PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal 18
(1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah degnan imbagnan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemeritnah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.
(2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian besar diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.
(3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana diamksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Download: https://drive.google.com/file/d/1hP0FQcHKu16lDFxVPqBN4Dt-HCBmumNw/view?usp=sharing