Sebuah buku paling monumental karena hadir ketika belum ada buku-buku lain yang membahas tentang kisah dan biografi para sahabat Nabi SAW. Buku dengan judul asli Rijalun Haular Rasul, edisi terjemah ke dalam bahasa Indonesia berjudul Biografi 60 Sahabat Nabi SAW ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid. Siapakah itu Khalid Muhammad Khalid? Mari kita kupas sedikit biografinya sebagaimana ditulis di halaman 605 buku karyanya tersebut.
Biografi Khalid Muhammad Khalid
Dikenal sebagai pemikir Islam kontemporer asal Mesir. Namanya meroket seiring dengan terbitnya karya beliau yang berjudul Rijalun Haular Rasul SAW. Namun, ia juga memiliki sejumlah karya lain Sirah Nabawiyah dan kisah-kisah para sahabat Nabi SAW, seperti Insaniyyatu Muhammad, 10 Ayyam fi Hayah ar-Rasul, dan Khulafa' ur-Rasul. Karya-karyanya dikenal menggunakan pilihan kata yang mudah dicerna.
Lahir pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1339 H bertepatan dengan tanggal 15 Juni 1920 M. Tempat kelahirannya adalah Desa Udwah, provinsi Syarqiyah, Mesir. Ia adalah putra da'i kondang Mesir Muhammad Khalid Tsabit. Menghabiskan masa kecil dengan belajar membaca, menulis, dan menghafal al-Qur'an sesuai dengan kemampuan dan potensi yang ada di desanya. Melihat tekadnya yang kuat, ayahnya mengizinkannya untuk pergi ke al-Azhar asy-Syarif, bahkan mengantarkannya hingga Kairo.
Kemudian ia dititipkan kepada Syeikh Husain untuk menghafalkan al-Qur'an secara sempurna/penuh, karena menjadi syarat masuk ke Universitas al-Azhar ketika itu. Kelas hafalan al-Qur'an ia selesaikan dalam waktu relatif singkat, hanya 5 bulan saja sebagaimana yang dituturkan dalam memoarnya, Qishshati Ma'al Hayah. Ia pun berhasil masuk al-Azhar pada usia dini. Selanjutnya menuntut ilmu di sana selama 16 tahun hingga lulus, serta berhasil merengkuh gelar akademik syahadah 'aliyyah (sarjana) dari Fakultas Syariah, Universitas al-Azhar apda 1364 H (1945 M). Saat itu ia telah menikah dan menjadi ayah dari dua anak.
Selepas kuliah dari al-Azhar ia bekerja sebagai Pengajar selama kurang lebih 9 tahun hingga tahun 1954 M. Kemudian ditunjuk sebagai konsultan penerbitan oleh Kementerian Kebudayaan Mesir. Ia pun mengajukan pensiun atas keinginan sendiri pada tahun 1976 M. Sepanjang kariernya berbagai tawaran untuk menjadi pejabat negara mengalir kepadanya, baik pada era Presiden Jamal Abdunnashir maupun Anwar as-Sadat, namun ditolaknya semua. Ia juga menolak ketika ditawari bekerja di luar negeri. Ini dilatarbelakangi oleh kepribadiannya yang rendah hati dan bergaya hidup sederhana.
Dinamika hidupnya sebenarnya bisa dilihat dari cepatnya ia menghafal al-Qur'an pada usia muda, yang dilanjutkan dengan studi di al-Azhar. Kemudian bagaimana ia tumbuh menjadi sosok yang haus akan pengetahuan, dengan mendalami berbagai disiplin seni, sastra, dan budaya, hingga persoalan politik yang menyibukkan negerinya ketika itu. Ia pun termasuk anggota Majelis Tinggi Sastra dan Seni Mesir.
Diceritakan bahwa Jamal Abdunnashir dan rekan-rekannya di Majelis Tertinggi Revolusi cukup terinspirasi dengan buku-bukunya sebelum Revolusi Republik. Saking semangatnya, sampai-sampai Abdunnashir merogoh kocek dari sakunya sendiri untuk membeli banyak eksemplar untuk dibagikan kepada para perwira. Hanya berselang enam bulan setelah Revolusi 23 Juli 1952, ia turut menunut pemerintah untuk menerapkan demokrasi. Terbitlah karyanya yang berjudul ad-Dimuqrathiyyatu Abadan.
Ia memposisikan diri sebgai kritikus revolusi. Sikapnya terhadap "Revolusi" dan orang-orangnya sangat terkenal, terutama dalam "Panitia Persiapan" pada tahun 1961. Ia mengkritik posisi "Revolusi" terkait isu kebebasan dan demokrasi. Ia menentang maksud Abdunnashir yang hendak melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang mereka sebut sebagai "sisa-sisa feodalisme" dan "musuh-musuh bangsa".
Jajaran Abdunnashir merampas aset mereka dengan sewenang-wenang, tidak adil, dan disalahguankan tanpa rasa bersalah. Ketika tidak ditemukan orang yang membela hak-hak mereka, maka suaranya lantang dalam menghadapi keheningan dan ketakutan. Dia pula yang menjadi pembela hak serta mengajukan tuntutan; dari isolasi politik menuju "keadilan" politik. Bahkan, ketika berlangsung pemungutan suara di Majelis terkait penerapan apartheid politik, tangannya adalah satu-satunya yang terangkat di langit sidang yang menyatakan penolakan diantara 360 anggota.
Semua itu tidak memalingkan dirinya dari sosok yang lembut hati dan diliputi cahaya iman dalam studinya. Ia juga dikenal sebagai ahli ibadah yang sibuk dengan akhirat dan Rabbnya. Ini tidak lepas dari buah kedekatannya dengan guru sekaligus murabbinya di waktu muda, syeikh Muhammad Khaththab as-Subki; figur yang ia sifati sebagai mujaddid dan imam Ahlussunnah. Demikianlah ilustrasi yang tersaji dalam memoarnya.
Ia menderita sakit kronis sejak beberapa tahun terakhir hingga meninggalnya. Bayangan kematian tidaklah mengganggunya, malah seperti orang yang merindukannya. Ia telah mempersiapkannya dengan mewasiatkan beberapa hal. Diantaranya agar ia dishalatkan di masjid Jami' al-Azhar, tempatnya mengenyam ilmu sejak ia masih muda. Ia pun minta dikebumikan di dsa kelahirannya, di samping makan orangtua, kakek-nenek, serta segenap saudara dan keluarganya. Ia wafat di rumah sakit pada malam Jum'at 9 Syawwal 1416 H atau 29 Februari 1996 M, dalam usia 76 tahun dengan meninggalkan 3 orang anak.