Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kata kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani clitikos yang berarti "yang membedakan". Kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuno krites, artinya "orang yang memberikan pendapat beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi, atau pengamatan".
Kritik yang disampaikan sejatinya dalam rangka memperbaiki pendapat atau perilaku seseorang. Sebaliknya, bukan didasarkan atas kebencian terhadap orangnya. Kritik dilakukan dengan menggunakan pilihan kata yang tidak menyinggung perasaan, sopan, dan bijaksana tetapi tidak mengurangi esensi kritiknya. Berbeda dengan ujaran kebencian, fitnah, dan penghinaan yang dilakukan dengan narasi yang menyinggung perasaan, bahkan tidak sopan dan tidak bijaksana serta tidak bertujuan utnuk memperbaiki pendapat atau perilaku seseorang.
Ujaran kebencian, fitnah, dan penghinaan diatur tersendiri dalam sistem hukum pidana Indonesia yaitu:
1. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, beberapa tindakan penistaan dan fitnah diatur dalam beberapa pasal:
a. Penghinaan terhadap Kepala Negara Lain (Pasal 142 KUHP);
b. Penghinaan yang dilakukan terhadap Bendera dan Lambang Negara Lain (Pasal 142a KUHP);
c. Penghinaan terhadap Wakil Negara Lain (Pasal 143 dan 144 KUHP);
d. Penghinaan terhadap Bendera Kebangsaan RI dan Lambang Negara RI (Pasal 154a KUHP);
e. Penghinaan terhadap golongan penduduk Indonesia tertentu (Pasal 156 dan 157 KUHP);
f. Penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a KUHP);
g. Penghinaan terhadap Petugas Agama yang menjalankan tugasnya dan benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 KUHP);
h. Penghinaan terhadap Penguasa Umum diatur dalam Pasal 207 KUHP;
i. Penistaan (smaad) diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP;
j. Penistaan dengan surat diatur pada Pasal 310 ayat (2) KUHP;
k. Fintah (Pasal 311 KUHP);
l. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);
m. Pengaduan untuk memfitnah (Pasal 317 KUHP);
n. Tuduhan secara memfitnah (Pasal 318 KUHP); dan
o. Penghinaan mengenai orang yang meninggal (Pasal 321 ayat (1) KUHP.
2. Sejak tanggal 21 April 2008, hate speech yang dilakukan di media sosial telah diatur pada Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Pasal tersebut telah diubah menjadi Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik yang berbunyi,
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)".
3. Pemidanaan atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian juga diatur pada Pasal 16 jo. Pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang mengatur mengenai tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4. Selain itu ujaran kebencian yang dapat menerbitkan keonaran juga diatur dalam Pasal 14 jo. Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang berbunyi:
Pasal 14
(1) Barangsiapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, degnan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun;
(2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
5. Sementara itu, berdasarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tenang Penanganan Ujaran Kebencian diterangkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, atau penyebaran berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kritik bukan suatu tindak pidana, namun kritik yang dilakukan dengan rasa benci, untuk fitnah dan penghinaan dapat dipidana. Selain itu, pelaporan atas ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan tidak harus orang atau korban yang dibenci, difitnah dan dihina melainkan siapapun warga Indonesia dapat membuat laporan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan tersebut kepada pihak yang berwajib.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cf0a71edb75c/meluruskan-istilah-kritik--fitnah-dan-ujaran-kebencian-oleh--reda-manthovani )*
)* Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM adalah Akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila.