Shalat berjama'ah hukumnya sunnah muakkadah. Sebagian 'ulama mengatakan wajib bagi kaum laki-laki dan meninggalkannya termasuk kemungkaran yang wajib diingkari, demikian menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dalam keutamaan shalat berjama'ah terdapat banyak hadits yang menjelaskan antara lain:
a. dari Ibnu Umar RA bahwa Rasululloh shollalhu'alaihi wasallam bersabda, "Shalat jama'ah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan kelebihan 27 derajat" (Muttafaq 'Alaih),
b. dari Ibnu Umar RA berkata, telah datang kepada Nabi shollalhu'alaihi wasallam seorang sahabat buta seraya berkata, "Ya Rasululloh, sesungguhnya saya tidak mempunyai penuntun yang akan membawaku ke masjid". Kemudian ia memohon kepada Rasululloh agar diberi keringanan untuk shalat di rumahnya; maka Beliau pun memberi rukhsah kepadanya. Tatkala ia berpaling hendak pulang, Beliau memanggilnya lalu bertanya, "Kamu mendengar suara adzan untuk shalat?" Jawabnya, "Iya!" Sabda Beliau lagi, "Wajib bagimu memenuhi seruan adzan!" (HR Muslim).
Shalat berjama'ah mengharuskan adanya seorang imam sebagai pemimpin shalat dan makmum. Lalu sosok seperti apa yang berhak menjadi seorang imam? Sosok yang paling berhak menjadi imam adalah seseorang yang paling baik bacaan al-Qur'annya. Apabila ada beberapa yang sama-sama bagus bacaan al-Qur'annya maka dipilih yang paling mengerti Sunnah. Jika sama-sama mengerti Sunnah, dicari yang paling dulu hijrahnya di jalan Allah. Apabila sama-sama duluan dalam berhijrah maka dicari yang paling tua usianya.
Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas'ud RA, bahwa Rasululloh shollalhu'alaihi wasallam bersabda,
"Yang menjadi imam di suatu kaum ialah yang paling baik bacaan al-Qur'annya. Jika dalam urusan bacaan itu sama-sama baiknya, dipilih yang paling mengerti Sunnah. Jika dalam urusan Sunnah sama-sama bagusnya, dipilih yang paling dulu hijrahnya. JIka dalam urusan hijrah sama-sama dulunya, dipilih yang paling tua usianya. Hendaklah seseorang jangan menjadi imam bagi orang lain di daerah kekuasaan orang itu, dan janganlah duduk di tempat khusus di rumah seseorang, kecuali dengan izinnya. Dalam riwayat lain disebutkan lafadz yang artinya, "Janganlah seseorang menjadi imam atas orang lain di tengah keluarga atau daerah kekuasaannya". (HR Ahmad dan Muslim)
Referensi: al Faifi, Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. 2017. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. Pustaka al Kautsar.