Berikut ini kami berikan ilustrasi perkara-perkara yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan bersuci (thoharoh). Sebagian masalah itu kadang menimbulkan keraguan dalam hati sehingga menjadi beban kegelisahan, sementara kaidah Fiqh mengatakan. "sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan keraguan". Semoga dengan paparan ini membuat keraguan itu sirna dan melahirkan keyakinan, karena salah satu syarat ibadah itu adalah bersuci.
1) Apabila tali yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian terkena na'jis, kemudian ia kering disebabkan sinar matahari atau tiupan angin, maka tali tersebut dapat digunakan untuk menjemur pakaian suci yang lain sampai kering. Jadi tali itu tidak perlu dicuci atau disiram air lagi, biarkan saja ia kering sendiri.
2) Jika seseorang terkena suatu cairan yang tidak jelas statusnya, apakah ia termasuk air suci atau na'jis, maka dia tidak perlu menanyakan benda apa saja yang telah mengenai cairan tersebut. Kita cukup berprasangka baik bahwa cairan itu suci dan tidak ada na'jis yang masuk ke dalamnya. Namun, jika ia tetap ingin mengetahui hakikat cairan itu dengan bertanya kepada seseorang maka orang yang ditanya tidak wajib menjawab meskipun dia tahu bahwa ada benda na'jis yang masuk ke cairan itu.
Dalil untuk bersikap demikian adalah sikap Umar bin Khattab RA yang melarang seseorang memberitahu hakikat suatu air yang mereka gunakan untuk berwudhu. Disamping itu, orang yang bertanya tersebut tidak wajib membasuh cairan yang mengenai dirinya.
3) Apabila kaki atau ujung pakaian terkena suatu benda basah di malam hari, dengan tidak diketahui hakikat benda basah itu maka tidak diwajibkan memastikan benda tersebut, baik dengan cara mencium, meraba, atau lainnya.
4) Jika seseorang telah mengerjakan shalat, tiba-tiba terlihat na'jis pada pakaian atau bagian badan yang sebelumnya tidak diketahui, atau telah mengetahui tapi lupa membersihkannya, atau pun tidak lupa namun tidak sanggup menghilangkan na'jis itu, maka shalatnya tetap dianggap sah dan ia tidak perlu mengulangi shalatnya.
Landasan atas hal ini adalah firman Allah SWT dalam QS al-Ahzab:5 yaitu "dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu bersalah (karena ketidaksengajaan)".
5) Seseorang yang tidak mengetahui letak na'jis di pakaiannya, ia diwajibkan mencuci semua pakaiannya. Sebab tidak ada cara lain untuk menghilangkan na'jis tersebut melainkan dengan cara mencuci keseluruhan pakaian itu. Hal ini sesuai dengan kaidah yang manyatakan "suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka hukum perkara itu menjadi wajib".
6) Jika pakaian milik seseorang bercampur antara yang suci dengan yang terkena na'jis, sehingga ia ragu saat memilih, maka ia diharuskan memilih pakaian yang dianggap suci sesuai kemantapan hatinya. Namun, ia hanya boleh memakainya untuk sekali shalat saja, baik pakaian yang ada itu sedikit atau banyak. Karena masalah ini sama seperti ketika seseorang kebingunan menentukan arah kiblat.
Referensi: al Faifi, Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. 2017. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. Pustaka al Kautsar.