Sangat wajar apabila orang bergembira dengan jabatan tinggi yang didudukinya, uang banyak yang dikantonginya, atau aneka kesuksesan hidup yang mengiringinya. Namun, berhati-hatilah saudaraku apabila kita tengah memiliki itu semua. Sebab, yang namanya kesenangan itu lebih berbahaya daripada kesulitan.
Mengapa? Di dalam kesenangan, nafsu biasanya akan lebih bebas beraksi. Saat memiliki banyak uang misalnya, kita lebih leluasa untuk membeli apa saja yang kita inginkan. Sesuatu yang tidak penting dan tidak bermanfaat pun dibeli dan dipamerkan. Kita baru ingat kalau barang yang sudah dibeli itu tidak bermanfaat ketika sedang kesulitan uang atau saat melihat iklan jual-beli barang bekas.
Begitu pula dengan gelar, jabatan, atau kedudukan, dia bisa menjadi ujian yang melenakan. Saat sedang menjabat kita merasa penting dan mulia sehingga bisa dengan seenaknya memerintah dan memarahi orang lain. Nafsu kita akan diam tidak berkutik. Andaipun setelah tidak menjabat kita masih suka mengatur dan merasa penting, kita harus segera sadar. "Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir". (QS al-Ma'arij: 19-21) Ayat-ayat berikutnya mengungkapkan pengecualian bagi orang-orang yang setia melaksanakan shalat, bersedekah, meyakini adanya Hari Pembalasan dan azab Allah, menepati janji dan selalu berbuat baik.
Manusia diciptakan suka mengeluh. Namun, dalam menghadapi sebuah kesulitan, kita bisa curhat dan memohon pertolongan Allah, misalnya ketika shalat. Kita yakin sepenuh hati bahwa hanya Allah Ta'ala yang dapat menolong karena Dialah yang menciptakan dan menggerakkan semuanya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi tanpa izinNya.
Kesulitan lebih mudah dijadikan jalan bertobat dan mendekatkan diri kepadaNya daripada kesenangan. Bagaimana tidak, dalam kesenangan nafsu pun ikut menggelora. Ketika memperoleh pangkat dan jabatan atau harta, kita cenderung pelit dan lupa kepada Dzat Yang Maha Memberi, apalagi terhadap sesama makhlukNya yang semestinya kita berbagi. Kita akan beranggapan kalau semua itu merupakan hasil kerja keras sendiri.
Kita perlu meragukan ucapan diri sendiri. Misalnya kita berucap, "Saya akan bersedekah tetapi nanti kalau saya sudah memperoleh untuk lebih banyak." Apabila kemudian mendapat lebih, nafsu akan tetap merasa kurang. "Tidak! Bahkan, kamu mencintai kehidupan dunia, dan mengabaikan (kehidupan) akhirat." (QS al-Qiyamah: 20-21) Dalam kesenangan kita mudah lupa dan bernafsu pada hal-hal duniawi daripada kehidupan akhriat yang lebih penting.
Jadi, apalah artinya kesulitan di dunia, apabila dia bisa membuat kita bertobat dan mulia di sisi Allah. Ada banyak orang yang hidup bersama kesenangan, akan tetapi dibiarkan leluasa berbuat maksiat dan dosa. Na'udzubillah. Lebih baik keadaan sulit yang mengantarkan kita pada tobat dibandingkan kesenangan yang membuat semakin jauh dariNya.
Hal ini tentu saja bukan berarti anjuran untuk mencari-cari kesulitan maupun kesulitan untuk sekedar pencitraan. Kesulitan yang dimaksud adalah episode-episode kehidupan yang ditakdirkan Allah yang harus kita terima sambil bertobat kepadaNya. Yakinkan diri bahwa, "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. asy-Syarh: 5-6)