PERIODE I: Masa Penjajahan Belanada dan Jepang
Tuan Guru Kiyai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir ditengah mulai menancapnya penjajahan Hindia Belanda di Pulau Lombok, menyingkirkan penguasaan Kerajaan Hindu Bali yang sudah lama menguasai Lombok. Kemudian TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bermukim di Mekkah sejak tahun 1923, belajar di Madrasah al-Shaulatiyah disaat jazirah Arab ada dalam masa transisi perubahan politik yang radikal. Ditandai dengan meluasnya gerakan nasional negara-nergara Arab, runtuhnya kekhalifahan Ottoman Turki, hingga berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Predikat Mumtaz/Summa Cumlaude (sempurna) disandang saat menyelesaikan studi di Madrasah As-Shaulatiyah Mekkah, tahun 1932. Hampir dua tahun kemudian mengabdi sebagai asisten guru di almamaternya sembari menunggu adiknya TGH Muhammad Faishal dan TGH Ahmad Rifa’i yang juga menempuh studi di Mekkah.
Tahun 1934, Zainuddin muda kembali ke Lombok, tanpa kenal lelah atau beristirahat, tahun yang sama langsung memulai perjuangannya dengan mendirikan Pesantren “al-Mujahidin”, sebagai aksi nyata atas kondisi bangsanya yang terjajah dan terbelakang. Pesantren yang dinamakan “al-Mujahidin” yang berarti “para pejuang” sebagai fondasi dan sikap awal TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menentang penjajahan dan keterbelakangan.
Dua tahun kemudian, yakni tahun 1936, Zainuddin muda mengajukan izin ke pemerintah kolonial Belanda untuk membuka Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan mulai beroperasi tahun 1937, dengan menerapkan sistem klasikal, seperti sekolah modern yang sudah dipraktekkan di Mekkah. Nama madrasah “Nahdlatul Wathan” yang berarti “Pergerakan Tanah Air” sebagai bentuk sikap dan visi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang sudah meletakkan perjuangannya ke dalam konteks negara dan bangsa. Pemilihan kata Nahdlatul Wathan dalam pengembangan pendidikan pesantren Al Mujahidin, adalah wujud Zainuddin muda meletakkan konteks perjuangan dalam skala lebih luas. Meletakkan, perjuangan yang dilakukan di Lombok, sebagai bagian dari apa yang sedang diperjuangkan seluruh rakyat Nusantara.
Meskipun sudah diizinkan beroperasi, pemerintah kolonial tetap melakukan pengawasan ketat terhadap madrasah ini. Bahkan, pemerintah kolonial sempat hendak menutup madrasah ini, karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Upaya diplomasi yang dilakukan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid membuahkan hasil, sehingga madrasah ini tetap beroperasi.
Tahun 1942, Belanda terusir dari Hindia Belanda dengan kekalahan atas Jepang yang kemudian menggantikan posisi Belanda sebagai penguasa nusantara dan sebagian besar Asia-Pasifik. Pada masa ini, Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah yang didirikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga tidak lepas dari incaran. Dai Nippon juga sempat hendak menutup madrasah ini, karena dianggap membahayakan kekuasaan Jepang. Namun, dengan upaya diplomasi yang dilakukan, salah satunya dengan alasan adanya kebutuhan imam dan penghulu bagi masyarakat Islam yang ada di Lombok, akhirnya otoritas pemerintah Jepang di Lombok tetap membiarkan madrasah ini beroperasi, tetapi dengan syarat sekolah ini dirubah sebutan menjadi “Sekolah Penghulu dan Imam”.
Pada masa penjajahan Jepang ini, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga memulai pendidikan bagi kaum perempuan, yakni dengan berdirinya Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI), tahun 1943. Pendirian Madrasah NBDI ini sebagai penyemurnaan dan pengembangan visi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam aspek keadilan bagi setiap orang. Khususnya soal masih belum setaranya kesempatan laki-laki dan perempuan untuk ikut dalam berbagai hal, termasuk soal akses pendidikan, dan pendirian madrasah inilah jawabannya. Pengawasan yang semakin longgar dari otoritas Jepang juga menjadi peluang bagi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid untuk mendirikan madrasah NBDI.
PERIODE II: Tahun 1945 – 1949 (Periode Revolusi Kemerdekaan)
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, yang kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945, disambut masyarakat Lombok, termasuk TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dengan jajaran santri dan jamaahnya. Meskipun informasi mengenai kemerdekaan ini baru diterima masyarakat Lombok, pada bulan Oktober 1945. Paska berita kemerdekaan, penyerangan pos militer Jepang berlangsung, termasuk di Lombok Timur dengan aksi penyerangan camp militer Jepang di Labuhan Haji pada penghujung tahun 1945. TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid turut serta menyiapkan barisan para santri dan jamaahnya untuk ikut melakukan penyerangan yang dipimpin Sayid Saleh.
Kekalahan Jepang yang kemudian berbuah proklamasi kemerdekaan RI, tidak berlangsung lama dinikmati di Lombok. Sebab, pasukan Australia yang merupakan bagian dari pasukan Sekutu, justru membawa kepentingan Hindia Belanda untuk menancapkan kembali kekuasaannya, yakni dengan hadirnya pasukan Hindia Belanda dengan berkedok NICA (Nederlandsch Inde Civil Administratie), yakni pemerintahan administrasi sipil. NICA memulai kekuasaannya dengan menangkap para pejuang dan pemimpin daerah, hal ini disambut dengan pembentukan laskar-laskar perjuangan rakyat, yang bergabung bersama Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian dirubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga mendirikan Laskar “al-Mujahidin” yang kemudian menunjuk adik kandungnya TGH Muhammad Faisal sebagai pemimpin. Laskar al-Mujahidin terdiri dari para santri Madrasah NWDI dan jamaah pengajian TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Laskar ini bersatu bersama laskar-laskar rakyat lain seperti Laskar Banteng Hitam, yang kemudian berujung pada penyerangan Tangsi Militer “Brigade Y” NICA di Selong Lombok Timur. Penyerangan ini berlangsung tanggal 7 Juni 1946 tengah malam hingga tanggal 8 Juni 1946 dini hari. Aksi ini berakhir gagal, tujuh pejuang gugur, termasuk TGH Muhammad Faishal, yang merupakan adik kandung TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Saat ini, makam para pejuang yang gugur ini berada dalam kompleks Taman Makam Pahlawan Nasional Rinjani Lombok Timur.
Aksi penyerangan ini membuat pemerintah pasukan NICA kian agresif, dilakukan penangkapan besar-besaran para tokoh dan pejuang republik yang ada di Lombok, termasuk santri dan keluarga TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga ikut ditangkap dan dipenjarakan NICA, diantaranya H Ahmad Rifa’i (adik kandung TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid) yang dibuang ke penjara Ambon Maluku, HM Yusi Muhsin Aminullah (pimpinan Santri) di penjara di Praya, dan santri lain, bersama pejuang lain dari sejumlah kelompok perjuangan dikirim ke sejumlah penjara lain seperti Bali dan daerah lainnya. Dua madrasah yang didirikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yakni Madrasah NWDI dan Madrasah NBDI ditutup pemerintah kolonial.
Madrasah NWDI dan Madrasah NBDI kembali diizinkan beroperasi setelah NICA benar-benar meyakini telah menguasai situasi politik di Lombok. Penyerangan ini merupakan akhir dari perjuangan fisik bersenjata di Lombok. Paska penyerangan Tangsi NICA, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tetap menanamkan dalam setiap dakwahnya saat berkeliling ke desa-desa bahwa semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Selain itu, salah satu yang menonjol yang dilakukan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sejak memulai aktifitas Madrasah NWDI adalah bagaimana memperkenalkan bahasa Indonesia dan semangat kebangsaan melalui lagu-lagu perjuangan yang diciptakan. Sehingga menjadi media baru dalam pengenalan bahasa dan semangat kebangsaan di tengah masyarakat. Hindia Belanda kemudian memulai strategi pecah belah dengan Konferensi Malino yang digelar sebulan paska penyerangan Tangsi NICA di Selong. Dan paska Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946, pemerintah Hindia Belanda kian agresif. Bahkan kemudian bersama mendeklarasikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan memanfaatkan sisa kekuasaan feodal yang ada di daerahdaerah. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan isi perjanjian Linggarjati, yakni antara lain berisi pengakuan Hindia Belanda terhadap wilayah RI di Jawa, Sumatera dan Madura, serta kesepakatan membentuk Negara Indonesia berbentuk federasi atau serikat.
Disisi lain, disaat yang sama TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kian mengokohkan posisi dan barisannya bersama para pejuang lainnya. Salah satunya dengan tokoh muda nasionalis Saleh Sungkar, salah satunya dengan mendirikan Persatuan Umat Islam Lombok (PUIL). Melalui organisasi ini TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid melakukan aktifitas politik kebangsaan, termasuk meneruskan propaganda para mukimin Indonesia di Mekkah, dalam menentang Hindia Belanda usai menjalani Misi Kehormatan Haji ke Tanah suci Mekkah penghujung tahun 1947.
PERIODE III: Tahun 1950 - 1965
Paska penyerahan kedaulatan penuh dari Hindia Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), dengan bentuk negara serikat. Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari Negara Republik Indonesia (RI), Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan. Ada juga wilayah otonom yang tak tergabung dalam federasi, yaitu Jawa Tengah, Riau, Bangka dan Belitung, serta lima daerah di pulau Kalimantan.
Usai KMB, dilakukan pemufakatan semua pihak dalam RIS untuk tetap membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai dari penerbitan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS, sejumlah daerah digabung ke RI, sehingga RIS hanya terdiri dari RI, NIT, dan Negara Sumatera Timur, melalui proses perundingan, dihasilkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam piagam persetujuan RIS dan RI sepakat membentuk negara kesatuan berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan, dibentuklah panitia gabungan RIS-RI. Pada tanggal 14 Agustus 1950, Parlemen RI dan Senat RIS mengesahkan Rancangan UUD Negara Kesatuan menjadi Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950). Presiden Soekarno membacakan piagam terbentuknya NKRI dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950, sekaligus pembubaran RIS.
Pada fase ini, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terus aktif dalam perjuangan politik kebangsaan, salah satunya dengan bergabung dengan Partai Masyumi, menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Syuro untuk wilayah Provinsi Sunda Kecil, posisi Ketua dijabat rekan seperjuangannya, yakni Saleh Sungkar. Gabungan kedua tokoh yang dikenal sebagai dwi-tunggal ini menempatkan Partai Masyumi sebagai kekuatan politik terkemuka, dan menempatkan Saleh Sungkar sebagai Ketua Parleman Lombok.
Kekurangan pangan yang melanda wilayah Lombok sejak penjajahan Jepang dan NICA, sempat menjadi fokus perhatian TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dan Saleh Sungkar. Bahu membahu kedua tokoh ini aktif mengawal kebijakan ketahanan pangan, salah satunya pelarangan pengiriman gabah dan beras ke luar Pulau Lombok agar stok pangan dalam daerah terpenuhi. Langkah ini merupakan langkah politik pertama yang paling signifikan yang dilakukan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dengan Saleh Sungkar, paska kedaulatan penuh NKRI di seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan ini jugalah yang akhirnya mengakhiri hidup partner seperjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Saleh Sungkar diculik dan dibunuh, Maret tahun 1952 oleh kelompok yang terganggu dengan kebijakan ini. Peristiwa ini membuat situasi di Lombok pada level siaga, sehingga Wakil Presiden Moh Hatta sempat datang ke Lombok, khususnya ke Lombok Timur, salah satu tujuannya untuk menenangkan situasi.
Kehilangan partner tidak membuat TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mundur, bahkan setahun kemudian yakni 1953, mendeklarasikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW), dan berhasil membawa Partai Masyumi berjaya dengan dua kursi Dewan Konstituante dari Provinsi Sunda Kecil pada Pemilu 1955. Yakni TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dan TGH Abdul Hafidz Sulaiman, Kediri Lombok Barat yang dipercaya mengemban amanah.
Paska Masyumi dibubarkan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terus fokus mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan, bahkan memulainya secara nasional dengan perubahan badan hukum dan pendirian cabang-cabang di sejumlah wilayah. Jelang berakhirnya orde lama, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga tercatat sebagai peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung tahun 1964.
Pergolakan kebangsaan era 1960an, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga berperan aktif dalam melawan paham komunisme yang terus berkembang. Pergerakan yang dimotori oleh pelajar dan mahasiswa juga ikut digelorakan oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Seiring dengan lahirnya gerakan dan organisasi pelajar mahasiswa skala nasional seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (Kami), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (Kapi), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (Kappi), dan lainnya. TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga mengambil peran. Melalui organisasi Nahdlatul Wathan yang menaungi puluhan madrasah, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kemudian mendirikan Ikatan Pelajar Nahdlatul Wathan (IPNW) dan Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan (HIMMAH NW), sebagai bentuk jawaban atas situasi negara yang kian tidak kondusif.
PERIODE IV: Zaman Orde Baru
Setelah pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bergabung bersama Sekretariat Bersama Golongan Karya. Termasuk ketika Golongan Karya sebagai lembaga politik peserta Pemilu. Selama bergabung di Golongan Karya, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tercatat sebagai anggota MPR RI, selama dua periode, yakni periode 1972-1982, hasil Pemilu II dan Pemilu III. Ketokohan TGKH M Zainuddin Abdul Madjid di pentas nasional mengemuka di era tersebut, salah satunya dengan posisi sebagai Penasehat Majlis Ulama' Indonesia (MUI) Pusat, tahun 1971-1982.
Melalui Nahdlatul Wathan dengan jaringan Pondok Pesantren dan madrasah yang didirikan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tetap memberikan peran signifikan dalam pembangunan. Selain dalam bidang pendidikan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga dikenal menjadi suksesor program strategis pemerintah. Seperti program Keluarga Berencana (KB), Transmigrasi, pemberantasan GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), bahkan program Imunisasi. Termasuk juga mensukseskan Gerakan Ketahanan Pangan Gogo Rancah (Gora) yang berhasil menjadikan Nusa Tenggara Barat swasembada pangan.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ikut bahu membahu bersama muridnya yang sudah banyak menjadi tuan guru dan mengelola pondok pesantren, mensukseskan program-program strategis pemerintah, sebagai peran dalam mengangkat drajat kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Barat yang masih rendah. Seperti program KB, laju pertumbuhan penduduk di Nusa Tenggara Barat sangat tinggi, padahal sejak era 70an terjadi kekurangan pangan, sehingga memicu kejadian busung lapar di sejumlah wilayah Jawa dan Lombok. Menekan laju pertumbuhan penduduk adalah kebutuhan dasar untuk mencegah masyarakat kian dalam terjebak kemiskinan. Awalnya program KB mendapat penolakan dari masyarakat, sehingga jumlah akseptor KB hanya 12.906, dari 103.683 Pasangan Usia Subur (PUS) yang ada, atau dengan angka prevalensi/1000 PUS, hanya 124,47. Setelah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dilibatkan, target 300 ribu akseptor bisa tercapai 84 persen.
Begitu juga dengan program transmigrasi yang secara paralel dikampanyekan, hal ini terdorong oleh tingkat kepadatan penduduk yang kian tinggi, yang berakibat pada kepemilikan lahan yang kian berkurang. Era 80an, pulau Lombok yang hanya memiliki luas 4.738 Km2 dihuni oleh 1.957.128 jiwa penduduk. Dan setiap kelompok transmigrasi yang berangkat ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan lainnya, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selalu menempatkan santrinya dalam rombongan. Para santri TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini kemudian menjadi pioner lembaga pendidikan di daerah-daerah terpencil transmigrasi yang hingga saat ini masih eksis, bahkan berkembang pesat.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga concern dalam bidang kesehatan masyarakat. Kondisi kesehatan ibu dan anak menjadi hal yang diperhatikan khusus, sehingga program imunisasi yang memiliki resistensi di kalangan masyarakat, dibukakan jalan oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pengajian-pengajian diselingi dengan imunisasi, bahkan TGKH Muhammad Zainuddin ikut langsung memberikan vaksi imunisasi pada balita. Hal serupa juga dilakukan dalam memberantas GAKI, isi pengajian dari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menyuarakan kampanye penggunaan garam beriodium, sebab masyarakat pada waktu itu, hanya 10-16% masyarakat yang menggunakan garam beriodium dalam pengolahan makanan sehari-hari, sehingga tingkat penderita gondok cukup tinggi. Selain itu, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga memberikan dukungan penuh terhadap pendirian Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram, yang didirikan salah satu muridnya. Bahkan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Syara’ di Rumah Sakit tersebut hingga akhir hayatnya.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid konsisten hingga akhir hayat, dengan capaian luar biasa. Karya-karya tulis TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga tidak kalah banyak, mulai dari kitab fiqih, keilmuan, hingga syair dan lagu yang berisi ajaran agama, moralitas, semangat kebangsaan, sejarah dan bagaimana membangun organisasi modern. Dalam dunia tulis menulis, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal dengan nama Hamzanwadi, akronim dari nama Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah.
Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan sumbangan luar biasa, dimulai dari Pesantren al-Mujahidin, di sebuah Musholla yang akhirnya menjadi cikap bakal ribuan madrasah hingga pelosok nusantara, organisasi massa Islam skala nasional, hingga perjuangan politik kebangsaan skala nasional, yang secara akumulatif memberikan kontribusi besar bagi kemajuan negara dan bangsa.
Download: https://drive.google.com/file/d/1Gv9YY7EjwFMxcGBdZw0uFCGhU5FANJbt/view?usp=sharing