Tanah Pecatu atau tanah adat di setiap daerah memiliki latar belakang historis berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Namun konsepsi secara umum Tanah Pecatu/adat memiliki kesamaan jika dicermati dari aspek fungsi dan kedudukannya, serta aturan yang mengatur hubungan antara tanah dengan masyarakat adat yakni masih didasarkan pada ketentuan hukum adat.
Tanah Pecatu atau dalam istilah agraria disebut dengan tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Konsep Tanah Pecatu di Lombok mempunyai kesamaan dengan konsep Tanah Bengkok yang dikenal dalam sistem agraris dipulau Jawa, Tanah Hak Binua di Kalimantan ataupun Tanah Hak Nagari (Sako) di Minangkabau. Tanah Pecatu yang dikenal dalam rumpun adat suku Sasak di pulau Lombok dikonsepsikan sebagai tanah yang diberikan kepada pejabat tertentu oleh masyarakat adat untuk menyelenggarakan pemerintahan di wilayahnya berdasarkan prinsip bahwa tanah tersebut diberikan selama yang bersangkutan memangku jabatan dan dapat dianggap suatu pembayaran kepada pejabat tersebut oleh persekutuan adat untuk memelihara keluarganya. Tanah-tanah ini adalah tanah hak milik adat dimana mereka mempunyai hak atas pendapatan dan penghasilan dari tanah itu.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Tanah Desa? Apakah Tanah Desa sama dengan Tanah Pecatu?
Pasal 1 angka 26 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa menyebutkan bahwa Tanah Desa adalah tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan/atau untuk kepentingan sosial. Itu artinya tanah milik desa yaitu tanah yang dimiliki pemerintah desa dan disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
Pada dasarnya Tanah Pecatu merupakan aset desa. Aset desa itu dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat/tanah pecatu, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa. Maka dapat disimpulkan bahwa Tanah Desa adalah tanah milik Pemerintah Desa yang di dalamnya juga termasuk Tanah Pecatu yang merupakan aset desa.