Selong (Suara NTB) – Prevalensi bayi di bawah lima tahun (balita) penderita stunting di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) tertinggi di NTB. Sesuai hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 lalu menyebutkan jumlah anak yang stunting di Lotim sebesar 43, 52 persen. Demikian diungkap Sekretaris Daerah (Sekda) Lotim H. Rohman Farly dalam acara rembug stunting, Selasa, 30 Juli 2019. Fakta Lotim selalu berada pada angka yang paling buruk se NTB diakui sekda sudah terjadi sejak lama. Di mana, derajat kesehatan masyarakat Lotim selalu berada pada posisi terbawah. “Lotim ini selalu nomor bengkis (terakhir, red),” akunya.
Lotim selalu berada pada posisi tertinggi seperti pada kasus stunting, ujarnya, karena sudah menjadi konsekuensi. Apalagi Lotim merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak se NTB dibandingkan 9 kabupaten/kota lainnya.
Sekda menuturkan, alasan dulu memungkinkan data-data terburuk dalam satu kasus kesehatan digunakan untuk menjemput program. Akan tetapi, kenyataan sebagai daerah dengan status terburuk derajat kesehatannya masih juga disandang Lotim.
Meski demikian, ujarnya, bagi masyarakat agraris Lotim tak mudah. Dibutuhkan strategi agar Lotim bisa lebih cepat menurunkan angka stunting. Untuk itu, salah satu ikhtiar daerah adalah memberikan penghargaan umrah kepada kepala desa yang berhasil menurunkan angka stunting. “Tujuan kita memberikan semangat kepada desa untuk penanganan stunting,” ucapnya.
Diakuinya, dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023, kasus stunting ini coba ditekan 2 persen, sehingga tersisa 39,5 persen atau bisa menjadi 28 persen.
Stunting atau gagal tumbuh, sambung Sekda berpengaruh pada kecerdasan dan tidak diinginkan terjadi terus memburuk. ‘’Data stunting ini dicatat detail alamat lengkapnya sehingga bisa dengan mudah ditangani,’’ sarannya.
Sementara Kepala Bappeda Lombok Timur, Ahmad Dewanto Hadi, menjelaskan, penanganan stunting mukai tahun 2019 ini telah ditetapkan delapan aksi. Di mana tahun 2020 telah ditetapkan 32 desa lokasi sasaran sebagai fokus penanggulangan stunting. Sebelumnya, ungkapnya, pada 2018 lalu sepuluh desa menjadi pilot project.
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) M. Taqiuddin mengatakan prevalensi balita stunting di NTB juga masih tinggi, yakni sebesar 33,49 persen. NTB masuk dalam 10 besar provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi se Indonesia.
Konsepsi juga melakukan sensus bersama pemerintah daerah Lotim tahun 2018 yang hasilnya jumlah balita stunting di 10 desa 42 persen. Perbandingan hasil Riskesdas 2013 dengan 2018 menunjukkan kemampuan menunrunkan stunting dalam kurun waktu lima tahun hanya 0,28 persen. Itu artinya, laju penurunan prevalensi stunting di Lotim masih sangat lamban.
Dalam hal ini, ujarnya, stunting bukanlah persoalan parsial, melainkan permasalahan multidimensional dan urusan semua orang. Untuk itu, pencegahan dan penanganan tidak bisa hanya dengan mengandalkan kegiatan spesifik sektor kesehatan. Perlu juga intervensi sektor lain. Bahkan harus ada penanganan sensitif yang kontribusinya 70 persen dibandingkan intervensi spesifik.
Stunting memiliki keterkaitan erat dengan masalah tingkat kesejahteraan rumah tangga, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Pola anak asuh, layanan kesehatan, ketahanan pangan dan tingkat pendidikan orang tua, khususnya ibu. ‘’Percepatan penurunan stunting memerlukan keterlibatan semua sektor dan beragam pemangku kepentingan pembangunan. Fokus utama sasarannya adalah 1000 hari pertama kehidupan,’’ sarannya. (rus)
Sumber: https://www.suarantb.com/lombok.timur/2019/07/273829/Balita.Stunting.di.Lotim.Tertinggi.di.NTB/