Pada dasarnya, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Asas ini dikenal dengan nama asas non-retroaktif, yaitu asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang.
Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” mengatakan bahwa asas ini sebenarnya sudah ditentukan untuk segala bidang hukum dan diulangi untuk hukum pidana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.
Menurut Wirjono, larangan keberlakuan surut ini bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak. Namun, dalam prakteknya, untuk kejahatan-kejahatan atau kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana terorisme atau kejahatan terhadap kemanusiaan, asas non retroaktif ini bisa dikecualikan.
Bagaimana halnya dengan salah satu produk hukum seperti Peraturan Daerah (Perda) semisal Peraturan Bupati (Perbup)? Perda/Perbup merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2011 yaitu:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPPU
4. PP
5. PERPRES
6. PERDA (PROVINSI)
7. PERDA (KABUPATEN/KOTA)
Dalam angka 124 Lampiran UU 12/2011 disebutkan bahwa jika suatu peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Jadi, maka suatu produk hukum seperti perda bisa saja diberlakusurutkan, dengan catatan untuk ketentuan pidananya tidak ikut diberlakusurutkan oleh karena asas non-retroaktif pada KUHP yang dijelaskan tadi.
Contoh:
“Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.”
Lebih lanjut dikatakan dalam angka 155 Lampiran UU 12/2011 pada dasarnya mulai berlakunya peraturan perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.
Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut) maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut (angka 156 Lampiran UU 12/2011):
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakuksurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.