Pada masa kekhalifahan Islam, sejarah kembali mencatat peran pemuda dalam mendukung kejayaan Islam. Di Andalusia, Abdurrahman an-Nashir dari Dinasti Umayyah naik takhta pada usia 22 tahun. Abdurrahman an-Nasir yang mulanya Amir Kordoba menyatakan diri sebagai khalifah setelah berhasil memperluas kekuasaan hingga Afrika Utara. Andalusia mencapai puncak keemasan pada masanya. Dia mampu meredam berbagai pertikaian dan menciptakan kebangkitan sains di Andalusia.
Dalam bidang militer dan pemerintahan, sejarah Islam mengenal sosok Muhammad al-Fatih, Umar bin Abd al-Aziz, dan Salahuddin al-Ayyubi. Muhammad Al Fatih, khususnya, masih sangat muda saat ia berhasil menaklukkan Konstantinopel.
Dikisahkan Mahmud ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad II atau dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih adalah putra Sultan Murad II. Ia telah diikutsertakan dalam berbagai peperangan yang dilakukan Turki Utsmani sejak usia belasan tahun.
Al-Fatih mendapat pendidikan Alquran di bawah bimbingan ulama ternama zaman itu, Syekh Ahmad bin Ismail al-Kurani. Sultan Murad II juga meminta para ulama lain mengajarkan ilmu hadis, fikih, kemiliteran, sejarah, tata bahasa, dan sejumlah ilmu modern kepada putranya. Keberadaan para ulama di sisi al-Fatih terus berlanjut hingga penaklukan Konstantinopel dilakukan.
Muhammad al-Fatih naik takhta pada usia 21 tahun, kemudian berhasil menaklukkan Konstantinopel pada usia 23 tahun. Pemimpinnya disebut-sebut oleh Rasulullah dalam hadis sebagai sebaik-baik pemimpin sedangkan pasukannya sebaik-baik pasukan.
Tradisi ilmu
Peran pemuda tidak terbatas dalam bidang kemiliteran, tapi juga keilmuan. Justru, tradisi ilmu inilah yang giat dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan zaman dulu. Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah mengatakan, substansi peradaban Islam terletak pada ilmu. Semua peradaban besar dalam sejarah selalu diawali dengan kebangkitan tradisi ilmu.
Tradisi ilmu yang dibangun Islam tidak sama dengan tradisi ilmu Barat yang sekuler. Jika menilik tradisi pendidikan Islam sejak masa Rasulullah, ada satu fondasi dasar yang wajib dibangun lebih dulu sebelum memasukkan berbagai ilmu-ilmu modern. Dasar itu adalah ilmu Alquran. Seperti kata Imam Syafi'i dalam Diwan al-Imam as-Syafi'i, "Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Jika kedua hal itu tiada padanya, tak bisa disebut pemuda."
Tradisi ilmu itu dilakoni langsung oleh Imam Syafi'i semasa muda. Imam Syafi'i telah menghafal Alquran pada usia sembilan tahun. Setahun kemudian, ia telah hafal kitab al-Muwatha karangan Imam Malik. Imam Syafi'i juga menekuni bahasa dan sastra Arab. Kecerdasan inilah yang membuat Imam Syafi'i dalam usia belasan tahun telah duduk di kursi mufti Kota Makkah. Ia menjadi rujukan dalam berbagai persoalan umat sejak muda.
Salah satu pembeda antara pemuda zaman dulu dan pemuda hari ini terletak pada tingkat kematangan. Muhammad al-Fatih sudah memimpin sebuah ekspedisi besar pada usia 21 tahun. Pada usia yang sama, pemuda kita hari ini masih berkutat dengan tugas-tugas kuliah atau kegalauan hidup.
Generasi Muslim semakin 'manja' atau dimanjakan dengan berbagai kemudahan teknologi. Kita dihadapkan pada pertanyaan, bagaimana mencetak pemuda-pemuda dengan tingkat kematangan tinggi pada usia relatif muda?
Sumber: https://khazanah.republika.co.id/berita/q5m5r5430/tradisi-ilmu-salah-satu-kunci-kemajuan-dunia-islam-1