Darurat sipil adalah serangkaian peraturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya. Pemerintah Indonesia diketahui akan menggunakan tiga undang-undang (UU) sebagai landasan hukum dalam melakukan pembatasan sosial skala besar yang diikuti kebijakan darurat sipil. Hal ini dilakukan sesuai instruksi Presiden sebagai upaya lanjutan dalam pencegahan penyebaran virus corona Covid-19.
Adapun ketiga UU yang digunakan pemerintah yakni UU No. 24/2007 tentang Bencana, UU No. 6/2018 tentang Kesehatan, dan Perppu No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya yang terbit di era Presiden Soekarno. Berikut berbagai ketentuan penetapan darurat sipil yang diatur di dalamnya.
Pasal 1 menyebutkan bahwa status darurat sipil, darurat militer, maupun perang, hanya diumumkan oleh Presiden atau Panglima Tertinggi angkatan perang, baik itu untuk seluruh ataupun sebagian wilayah. Status ini dikeluarkan dalam tiga kondisi, yaitu:
Pertama, keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
Ke dua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
Ke tiga, hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Dalam Pasal 7 Perppu tersebut dijelaskan, penguasa darurat sipil daerah harus mengikuti arahan penguasa darurat sipil pusat, atau dalam kondisi darurat Covid-19 ini adalah Presiden. Presiden dapat mencabut kekuasaan dari penguasa darurat sipil daerah. Penghapusan keadaan bahaya (baik darurat sipil maupun darurat militer) dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi angkatan perang. Namun kepala daerah dapat terus memberlakukan keadaan darurat sipil maksimal empat bulan setelah penghapusan keadaan darurat sipil oleh pusat.
Berdasarkan Pasal 18, Penguasa Darurat Sipil berhak membuat ketentuan yang membatasi pengadaan rapat umum, pertemuan umum, bahkan arak-arakan pun harus dilakukan dengan izin tertentu. Izin bisa diberikan secara penuh atau bersyarat. Selain itu, penggunaan gedung-gedung, tempat kediaman dan lapangan juga dibatasi atau bahkan dilarang untuk sementara waktu. Keberadaan orang di luar rumah juga dibatasi. Pasal 20 bahkan membolehkan Penguasa Darurat Sipil untuk melakukan pemeriksaan badan dan pakaian tiap orang yang mengundang kecurigaan. Presiden dapat mengangkat pejabat lain bila perlu. Presiden juga bisa menentukan susunan yang berlainan dengan yang tertera di atas bila dinilai perlu.
Di level daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.
Dalam kondisi wabah yang terus meluas, pasal yang digunakan menurut UU Nomor 6 tahun 2018, setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar adalah karantina wilayah. Karantina wilayah terdapat pada Bab VII bagian ke tiga tentang Karantina Wilayah pada Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018.
Sumber: https://www.wartaekonomi.co.id/read278881/apa-itu-darurat-sipil/0